RENDEZVOUS TO JOGJA : A Tribute to Almh. Aflakha Ulul Azmi

Senin, 31 Mei 2010

Pagi ini aku mendapat telepon dari teman SMPku, Avis. Hari ini hari yang ceria. Aku baru saja memasak omelet mie untuk sarapanku dan adikku, lalu mencuci piring. Sehingga telepon Avis kuanggap tentang urusan stetoskop dan tensi yang ia titip padaku untuk membelikan.

Ternyata tidak.

“Mer, xxxx meninggal dunia,”

“Siapa?” Aku nggak nyambung. Aku pikir, tantenya yang sakit itu, dan telah terlambat bagiku untuk membelikan tensi bagi Avis. Penyesalan sedikit membersit.

“Ulul,”

“APA???”

“Iya Mer. Aflakha Ulul Azmi. Wafat kemarin malam (30 Mei 2010) ba’da isya. Aku juga gemetar ini,”

“Tapi kenapa? Sakit apa?” racauku.

“Nggal tau. Aku juga baru tahu dari Sari, teman SD-ku yang kita bareng se-SD sama mbak Ulul,”

Aku kehabisan kata. Aku tak sanggup menangis. Akupun sampai lupa mengucap innalillahi. Aku hampa.

“Halo? Halo?”

“I-iya… Vis. Terus bagaimana?”

“Hari ini kita semua alumnus SMP Muhammadiyah Batu kumpul ba’da maghrib untuk takziyah,”

*****************************************************

Sampai aku mandi, aku masih melamun. Pagi ini menjadi terasa sangat lambat bagiku. Segala semangat menguap. Tapi aku tidak menangis sama sekali. Aku jadi khawatir dengan keadaan hatiku. Terasa sangat berat, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Tiba-tiba, HP-ku berbunyi. Nomor asing.

“Halo?”

“Apa benar ini nomor Merlita?”

“Iya, benar. Ada apa?” Aku menduga, pasti salah seorang teman lamaku yang akan mengabarkan berita duka.

“Mer, jangan kaget ya. Ulul meninggal dunia,”

“Iya, aku udah tau dari Avis. Ini siapa?” emosiku benar-benar flat. Entah siapa yang ada di seberang sana.

“Ini kakaknya,” aku membeku. Ia sendiri yang menelponku. Segala emosi yang berkecamuk di pikiranku akhirnya tumpah semua. Dan pecahlah tangisku dihadapan suara mbak Khoir, kakaknya.

“Ulul sakit apa, Mbak Khoir?” rintihku. Tetapi jawaban beliau tidak menjelaskan bagiku. aku semakin khawatir tentang sebab wafatnya. Apa? Mengapa? Dia gadis yang tegar. Menghadapi wafat ibunya di usia SMP, merawat ayahnya, menghadapi wafat ayahnya di semester 5-6, dan berjuang menyokong hidupnya sendiri. Yang menceritakan impian-impiannya, upayanya untuk menembus perusahaan GE, mencari beasiswa untuk tetap kuliah… gadis itu. Aku masih tidak mau percaya, yang baru saja bersamaku menghadiri pernikahan Ratna teman kelas kami dulu, yang pernah hidup bersama di perantauan Jogja di usia muda kami, kini meninggalkanku.

Berangkat kuliah ke Malang, aku semakin melayang. Dalam keadaan biasa saja momen bersepeda motor Batu-Malang untuk berangkat kuliah selalu menjadi momen kontemplasi dan melamun, apalagi dalam situasi terpukul seperti itu. Aku jadi tidak berani mengebut. Apabila aku memang terlambat terlalu parah ke kuliah Bedah Urologi dari dr. Basuki Purnomo, Sp.U, aku berencana membolos saja. Aku pun tidak terlalu siap untuk kuliah.

Teringat kembali berbagai memori kami di SMP.

*****************************************************

Aku dan Ulul selamanya (di SMP) adalah rival. Juara 1 paralel selalu kami duduki berdua. Tentu saja menjadi ribet. Ada barrier tak tampak antara kami, terutama di kelas 1. Maklum, baru kenal tau-tau udah saingan. Hmm…

Suatu hari, kami ditawari oleh pak Teguh Wijayanto, kepsek SMP Muhammadiyah waktu itu untuk menjalani program tukar pelajar ke SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta, SMP Muhammadiyah favorit di sana. Waktu itu awal kelas 2, dan kami masih tidak jauh beda dengan anak kelas 6 SD. Terutama aku, mungkin. Tetapi, kami menerima tawaran itu dengan senang dan hati berdebar. Bertemu dengan sekolah baru, teman baru, guru baru, model pelajaran baru. Dan hikmah dikirimnya kami berdua membuat kami dapat saling bergantung.

Di sana kami mengalami pengalaman yang berwarna-warni. Aku masih ingat ketika kami bertengkar hebat hanya gara-gara memperebutkan sebatang spidol. Lalu karena kesal, kami sama-sama menangis ^_^. Aku bahkan sempat membawa-bawa nama ibunya karena emosi. Hal yang sejak saat itu aku sesali. Beberapa hari setelah itu, kami tidak saling menyapa. Ngambek gituh… hehe. Tapi kemudian, kami mulai saling menyapa lagi setelah teman baru kami di sana, Suharli, memberi kami 2 buah komik Detective Conan yang kami sukai. Dimanapun Suharli berada, aku menyampaikan terima kasih yang teramat besar.

Hal-hal yang dulu rasanya terhalang, kini tak ada lagi. Di rantau kami bukanlah saingan, tetapi tim. Kami berbagi rahasia bersama. Mulai dari kesukaannya dengan bola. Meski seorang cewek, ia rela melek semalaman demi nonton bola, terutama tim favoritnya Inter Milan, dan player kesukaannya Sebastian Veron. Kegilaanku dengan komik Detektif Conan. Dan aku menyampaikan rahasia-rahasia terbesarku. Kamu ingat dengan kode ‘cincin’, Ulul? tentu aku masih ingat. Dan semua kenangan-kenangan asam-manis, yang jika dikenang kini hanya tinggal manis saja.

Sepulangnya dari Jogja, kami menjadi sangat akrab. Hal yang dulu terasa sulit, menjadi mudah. Tetapi tiba-tiba, aku mendapat kabar bahwa ibunya wafat. Aku turut merasakan kehilangan dan juga kesedihannya. Tetapi bagiku dia begitu tabah. Kini ia sendiri yang membantu dan mengurus ayahnya di rumah mereka. Kakaknya telah menikah sehingga tidak tinggal serumah lagi dengan keluarga kecil itu.

Suatu hari, lama setelah kami lulus dan berpisah SMA, aku bertemu dengannya kembali di suatu parkiran Plaza. Tidak ada hal yang begitu menyenangkan selain bertemu dengannya, dan memanggil kembali kenangan-kenangan kami di Jogja.

Saat itu ia berkata, “Aku senang denganmu Mer. Karena kamu tidak pernah melupakan pertemanan kita,” Tentu saja, Ulul, batinku. Aku memang selalu menghargai teman-teman lamaku. Tetapi kamu, adalah salah satu dari teman lama teristimewa.

Kami berpisah lagi dalam waktu lama. Dan tibalah kabar pernikahan Ratna teman sekelas kami dulu, putri pak Martono guru kami. aku menawari Ulul untuk bareng datang ke sana. Dan itulah pertemuanku yang terakhir dengannya. Entah kenapa belakangan ini aku kangen sekali padanya, tetapi tidak sempat mengirimi SMS. Apakah saat itu adalah firasat? Entah.. namun saat ini aku menyesali penundaanku itu.

*****************************************************

Malam itu, aku berkumpul kembali dengan sahabat-sahabat lamaku di SMP. Terkenang kembali semua lokasi yang pernah menjadi kenanganku tentang Ulul. Hari itu kuakui memang banyak melamun. Ah, Ulul. Apa yang akan kukatakan kepada orang-orang terdekatku mengenaimu? Kamu telah begitu dekat dengan keluargaku, dan berita kehilangan ini… .

Kamipun berangkat menuju rumah mbak Khoir. Disana kami disambut, dan aku tidak sanggup menahan air mataku. Aku bertanya mengenai sakit apa yang diderita oleh sahabatku itu. Rupanya, ia sakit paru-paru kronis. Entah Koch Disease atau apa, tetapi yang jelas dapat menurunkan kondisi tubuhnya dalam waktu singkat setelah sakit yang lama. Akupun menyesali terlambatnya Ulul dirujuk ke rumah sakit yang lebih lengkap. Tetapi, segalanya telah ditentukan oleh takdir dan ditulis di Lauhul Mahfudz. Yang bisa kulakukan hanyalah mendoakannya. Semoga ia ditempatkan sisi Allah yang mulia, diterima amal-amal baiknya, dan diampuni segala dosanya. Memoir ini aku persembahkan untuknya, sebagai kenangan untuk sahabatku… Aflakha Ulul Azmi.

Muhasabahku untuk Menjadi Ibu

21 Maret 2010

Percakapan di kamar :

“… Makanya, Mama pernah dengar kalau di…(suatu negeri bla-bla) tuh bisa masuk universitas hanya karena nilai matematikanya sangat baik, meski dia tidak lulus mata pelajaran yang lain. Jadi penting tuh… Mbak Aya? Mbak Aya?”

Aku terhenyak dari anganku. Rupanya tanpa kukehendaki, aku melamunkan urusan TA yang tersendat selama ibuku semangat bercerita. Karena khawatir molor ke semester 9 (yang berarti nambah biaya kuliah), di depan beliau yang sedang bicara aku melamunkan hal lain dan tidak memperhatikan.

“Kamu mendengarkan atau tidak? Percuma Mama capek-capek mikir dan ngomong kalau kamu nggak pedulikan.” Deg!

“Kamu keluar gih…” kata beliau dengan lembut, beberapa saat setelahnya (saat itu aku khawatir beliau sebenarnya mau menangis).

Kemudian, dengan suara sedikit serak ibuku menyanyikan sebait lagu –Aku bukan wonder womanmu, yang bisa terus menahan, rasa sakit karena mencintaimu- (di keluargaku, terutama bagi ibu dan adik lelakiku, lagu adalah ekspresi isi hati. Golak emosi tanpa sadar akan tersiratkan dari lirik lagu yang saat itu segera terbersit di hati mereka. Berbeda sekali dengan cara berekspresi aku dan ayahku yang main pendem-pendeman. Mungkin itu karena perbendaharaan kami tentang lagu-lagu terlalu sedikit ya?).

Aku segera sadar bahwa beliau telah tersinggung dengan sikapku yang nggak sopan itu. Aduh, menyesal sekali rasanya menyakiti beliau sedemikian rupa, meski tanpa sengaja. Sebenarnya, kebandelanku selama hidupku dengan beliau masih jauh lebih banyak yang lebih parah. Akan tetapi, kudokumentasikan ini karena tiba-tiba timbul muhasabah tersendiri bagiku. mendadak aku membayangkan apabila aku menjadi seorang ibu seperti dirinya.

—————————————————————————————————————————

Ketika seorang wanita mengasuh seorang anak, baik anak kandungnya atau bukan, maka saat itu ia harus dapat menerima banyak kemungkinan. Ketika ia dulu mengasuh seorang bayi, ia mengasuh bayi yang tak berdaya. Bayi mungil yang lucu untuk dicintai, dan terlalu lemah untuk melawan bila didzalimi. Yang bergantung padanya secara penuh. Yang haus akan cinta dan kasih sayangnya.

Kemudian anak itu akan semakin besar, dan semakin berkurang ketergantungannya. Semakin luas pergaulannya, semakin banyak kemauannya. Semakin mandiri dan semakin mudah membangkang. Ia tidak lagi menjadikan orangtua sebagai satu-satunya pertimbangan, seperti ketika kecil dulu. Dia juga mempertimbangkan teman-temannya, lingkungannya, harga dirinya, prinsip yang didapatkannya, dan informasi dari media yang diaksesnya.

Dan pada akhirnya ketika ia telah dewasa, maka ia benar-benar menjadi sangat mandiri dan sedikit sekali bergantung pada orangtuanya. Dia akan semakin banyak memutuskan hal-hal penting yang dipandangnya tidak perlu lagi meminta pertimbangan orang tuanya. Dia akan memilih jalannya sendiri, tanpa dapat lagi diintervensi. Paling-paling sang ibu-ayah hanya berhak untuk menasehati, tanpa terlalu jauh mengobok-obok privasi.

Dan dalam masa itu, si anak akan semakin sibuk dengan dunianya. Jika tadinya kewajibannya hanya sekolah, semakin dewasa bebannya akan semakin bertambah. Tidak hanya sekolah/kuliah, masih ditambah juga perannya sebagai teman, anggota masyarakat, anggota organisasi, amanat-amanat lain yang dipilihnya, dan nantinya, sebagai pasangan dan orangtua. Dalam simpang siur kesibukannya, si anak akan semakin jauh dan jauuuh dengan orang yang mencintainya tanpa harap balasan itu.

________________________________________________________________________

Jika ini bukan tulisan yang pertama tentang ibu, tidaklah masalah bagiku untuk menjadi yang kesekian kali. Yang terpenting, terutama untukku, tulisan ini dapat mengingatkanku kembali bahwa orang tua (terutama ibu) kita pun masih merindukan perhatian kehangatan kasih sayang dari kita, seiring beranjaknya kita ke usia dewasa. Di tengah-tengah kesibukan dan hiruk-pikuk tuntutan peranan dalam kehidupan kita. Dimana semakin dekat masanya bagi mereka untuk melepas kita dari dekap hangat mereka… dengan senyuman dan air mata.

Mekanisme Firasat dan Penilaian Sesaat

(From BLINK! by Malcolm Gladwell)

Salah satu penulis favorit saya, dimana setiap judul bukunya selalu saya sukai bahkan sebelum tahu isinya tentang apa, selain Salim A. Fillah adalah Malcolm Gladwell. Seorang Afro-amerika yang cerdas, tatas dan bernas dalam menulis. Saya sendiri selalu terkejut dengan tema buku yang dia bahas. Sepertinya ia selalu mengangkat tema sepele namun unik dan memberikan efek besar, seperti Tipping Point contohnya. Salah satunya bukunya yang lain adalah BLINK!, yang sebentar lagi akan kita bahas. Buku ini menelusuri tentang firasat singkat kesan pertama, yang muncul maksimal 2 detik setelah kita melihat sesuatu.

Disadari atau tidak, kita memang seringkali memiliki penilaian general ketika bertemu seseorang, melihat suatu barang, atau mendapati suatu permasalahan, sebelum kita mengetahui detail persisnya mereka seperti apa. Apakah itu penilaian baik, buruk, aman atau berbahaya. Itulah yang disebut sebagai Thin Slicing (cuplikan tipis) dalam buku ini. Potongan kecil yang mewakili gambaran besar. Sebuah sampel.

Informasi yang mendasarinya didapat dari alam bawah sadar, sehingga tidak heran jika firasat ini sering diabaikan dan dianggap remeh. Akan tetapi, bukan berarti ia tidak bermakna. Hanya saja, informasi itu tertutup oleh suatu locked door yang membuatnya seolah tidak logis. Kemampuan penilaian ini merupakan suatu mekanisme pelindung yang sering menolong pemiliknya. Namun terkadang, ia dapat pula menjerumuskan kepada pilihan yang benar-benar salah.

Otak dapat diibaratkan seperti sebuah lemari arsip. Ia menerima begitu banyak informasi. Meski kapasitasnya sangat besar, otak tidak memasukkan seluruh informasi yang diterima ke dalam memori. Ada mekanisme prioritizing yang tercipta untuk melindungi otak dari serangan hang karena over-information. Mekanisme inilah yang menyortir ingatan menjadi penghuni alam sadar untuk informasi yang ‘siap pakai’, alam bawah sadar untuk informasi yang masih dibutuhkan tetapi jarang dikeluarkan, dan untuk dilupakan apabila dinilai tidak penting atau tidak terkait dengan informasi sebelumnya.

Alam sadar memuat informasi yang dapat di-recall ulang, seperti hapalan ujian, nama teman atau nomor teleponnya. Ia seperti data yang tersedia di rak lemari arsip yang siap diambil jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Sedangkan alam bawah sadar memiliki kepasitas yang jauh lebih besar, tetapi terkunci di dalam laci lemarinya. Ia tidak dapat dikeluarkan meski dengan keinginan kita atau dipaksa. Akan tetapi, ia akan keluar dengan sendirinya ketika diperlukan. Informasi alam bawah sadar memiliki kaitan dengan informasi alam sadar, dan kunci itulah yang membuatnya naik ke permukaan dalam bentuk firasat ketika otak merasa membutuhkan informasi yang benar-benar penting. Keluarnya informasi ini tidak sistematis. Ia bersifat acak tergantung kepada informasi yang mana ia terkaitkan.

Randomnya cara pengambilan penilaian bawah sadar tersebut tidak menjadikan kemampuan thin slicing tidak bisa dilatih. Pengenalan yang mendalam terhadap medan atau karakteristik objek dapat membuat penilaian thin slicing semakin berarti dan masuk akal. Dengan melakukan banyak repetisi, firasat ini menjadi semakin sigap dan keluar di saat yang tepat. Serta antisipasi terhadap kemungkinan terburuk akan mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah. Kemampuan firasat inilah yang mampu membedakan mana sang pakar dan yang amatiran. Kedalaman  pengetahuan si ahli selalu turut membantu penilaian, meski terkadang seolah kurang logis karena keluar dari alam tak sadar.

Thin Slicing biasanya hampir selalu benar dan mewakili gambaran besar. Akan tetapi, ada beberapa keadaan yang membuat cuplikan tipis ini menjadi benar-benar meleset. Rintangan Blink alias Thin Slicing seringkali disebabkan oleh prasangka, yaitu penilaian sadar yang dilekatkan kepada objek. Adanya kecenderungan, meski itu baik atau buruk, menutupi munculnya penilaian sejati yang dibimbing oleh alam bawah sadar.

Selain itu, waktu juga menjadi variabel penting yang menentukan ketepatan firasat. Timing yang terlalu cepat dalam mengambil penilaian dapat mengakibatkan informasi yang mestinya komprehensif menjadi berkurang. Sehingga penilaian menjadi kurang berarti karena tidak mewakili realitas. Namun, jeda yang terlalu lama juga dapat mengaburkan firasat. Adanya kecenderungan introspeksi dan penilaian ulang membuat thin slicing terdistorsi penilaian alam sadar, yang seringkali pragmatis dan menyesatkan.

Bagaimana cara mudah mengembangkan kemampuan Blink? Mudah saja. Tinggal mengatasi rintangan-rintangan yang menghalangi keluarnya thin slicing, antara lain adalah menetralkan prasangka. Biarkan intuisi (bukan perasaan!) yang menuntun penilaian dan pengambilan keputusan tanpa terlebih dahulu dirancukan dengan fakta. Alam sadar dipergunakan baru setelah kesimpulan lengkap diambil, yaitu untuk mencocokkan cuplikan tipis dengan gambaran besar, dan mengevaluasi bobot penilaian tersebut. Relevan atau tidak, benar atau menyesatkan.

Selain itu, perlu pengambilan jeda yang cukup untuk mengendapkan dan mengangkat informasi ke permukaan. Waktu yang terlalu singkat membuat otak menyortir informasi terlalu banyak, sedangkan jeda yang terlalu lama membuat terjebak dalam penilaian pragmatis. Sehingga perlu perkiraan timing yang tepat untuk mendapatkan penilaian yang optimal. Dan tentu saja memperkirakan timing ini tidak bisa dikuasai dalam waktu singkat. Karenanya, perlu banyak pengulangan dan pembelajaran untuk dapat menjadi seorang ahli…

 

(Dibuat di tengah malam ketika besoknya akan ujian Obstetri-Ginekologi dan Farmakologi Klinik. Mohon maaf kalau bahasa atau idenya mbulet. Memang begitulah gaya Malcolm Gladwell dalam menulis. Perlu sedikit usaha mengerutkan dahi. Ah, sudahlah. Belajar lagi yuukkk…)

Ketika Kita Dinanti…

Aku dan Dwi temanku baru saja pulang dari acara walimah salah seorang saudari kami yang bertempat di kompleks perumahan Angkatan Udara Abdurrahman Saleh. Jauhnya jarak, ditambah dengan acara begadang pada malam sebelumnya membuat kami agak disorientasi. Nyaris saja kami berdua tertidur di jalan. Padahal kami dalam keadaan mengendarai motor!! Akhirnya kami memutuskan mampir di Masjid Raden Patah untuk beristirahat.

Tak lama berselang, Bu Diah mengirim SMS delegasi mengisi pengajian ibu-ibu jam 4 sore di desa Gunungsari, Sumberejo, Kota Batu. Santai, masih jam 1, batinku. Kami malah masih sempat jajan bakso bakar dan es campur. Dengan segala keribetan itu, akhirnya aku sampai di rumah Batu pukul 15.30. Santai, paling mereka juga baru datang jam 16.30. Malah jangan-jangan mereka baru lengkap setelah jam 17.00, batinku lagi.

Dengan berbekal keyakinan tersebut, aku shalat lalu bercengrama mesra dengan keluarga, sampai pukul 16.30. Baru setelah itu, aku berangkat ke tempat tujuan. Sebenarnya aku pernah ke sana. Tempat yang cukup jauh jauh jika ditempuh dengan sepeda motor, 20 menit. Apalagi jika berjalan kaki. Sayangnya saat ini aku lupa jika jaraknya lumayan, dan ditambah aku sudah lupa tempatnya. Dengan sedikit cemas, kupercepat laju motorku, dan berharap memori jangka panjangku masih menyisakan ruang untuk denah tempat tersebut. Beruntungnya, firasat menuntunku pada gang menuju panti itu, tanpa harus ada acara nyasar-nyasar. Terima kasih ya Allah…

Ternyata di panti, ibu-ibu itu sudah lengkap. Dan kedatangan ku disambut dengan tatapan agak sebal. “Sudah menunggu lama ya, Bu?” tanyaku. “Iya,” jawab mereka, tanpa sungkan. Lho? Jawaban yang sangat jujur. Wah, berarti aku sudah keterlaluan. Lalu kulihat jam di dinding, dan … MasyaAllah!! Pantesan. Nyaris jam 17.00. Tak kusangka, perjalanan dari rumahku ke tempat ini yang bertetangga desa telah menyita waktu 30 menitan. Mereka telah menunggu mungkin lebih dari 1 jam…

Refleks menusiawiku segera membentuk pertahanan diri. “Aduh, mohon maaf, Bu. Ini tadi saya dari Malang. Maafkan atas keterlambatan saya…”. Alasan seolah syar’i ini membuat wajah setengah bersungut mereka cerah kembali. “Aduh, ndak papa mbak. Mbak kan asalnya jauh…” kata mereka dengan tulus. Astaghfirullah… astaghfirullah…

Ketika kita dinanti, sesungguhnya kita sedang dipercaya untuk berusaha sekuat tenaga untuk sampai secepat mungkin. Akan tetapi kita sering tidak menyadari, bahwa orang yang menanti itu kepanasan dirundung gelisah. Dan melah menganggap bahwa orang lain akan sama tidak disiplinnya dengan kita.

Ibuku pernah menasehatiku, “Jangan sampai kita ditunggu orang lain. Apalagi ketika janjian, ternyata kita belum siap dan terpaksa membuat orang itu menunggu persiapan kita selesai. Asal tahu saja, orang lain menghormati kita dengan cara menepati perjanjian mereka dengan kamu. Masa kamu sendiri tidak bisa menghormati mereka dengan cara tepat waktu, dan membuat mereka menanggung akibat ketidak dewasaanmu?”

KETIKA KITA DINANTI

Kesiapan Tenaga Medis dalam Menyambut AFTA 2010

AFTA 2010, Indonesia masih sebagai pangsa pasar?

Pergantian tahun 2010 telah begitu dekat di ambang pintu. Berbagai macam agenda negara telah terlaksana. Akan tetapi, dekatnya tahun tersebut kini menimbulkan kekhawatiran baru, terutama di kalangan penyedia layanan kesehatan di Indonesia. Tahun 2010 berarti saatnya dilaksanakan perjanjian antar negara tetangga di ASEAN berupa AFTA, Asean Free Trade Area, atau bisa disebut juga Area Pasar Bebas ASEAN.

Perjanjian AFTA atau ASEAN FreeTrade Area (AFTA) dibuat pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan menjadi perwujudan kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Rencana ini ditujukan untuk menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia yang akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

Kesepakatan itu disetujui oleh 6 negara anggota. Karena dalam perjalanannya ASEAN mengalami pertambahan anggota, sehingga AFTA dilaksanakan secara bertahap. Idealnya, pembebasan semua bea masuk di 6 negara pendiri ASEAN telah dilaksanakan di tahun 2003, dan di tahun 2010 untuk negara sisanya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Ini semua adalah target maksimal.

Dalam hal kesiapan tenaga medis menyambut AFTA 2010 di Indonesia, banyak kalangan masih meragukan daya saing rumah sakit Indonesia jika dibandingkan dengan rumah sakit negara tetangga, sebut saja Singapura atau Malaysia. Jangan bayangkan dulu ketika nanti setelah AFTA berlaku. Saat ini saja ketika Pasar Bebas masih belum dilaksanakan pun, sudah menjadi rahasia umum bahwa begitu banyak warga Indonesia yang berobat ke negeri jiran tersebut, terutama untuk mencari pelayanan kesehatan profesional yang memuaskan. Masih banyak rumah sakit di Indonesia yang belum mampu memberi layanan berkualitas dan efisien sehingga dapat bersaing dengan rumah sakit-rumah sakit negara tetangga. Melihat kenyataan ini, tidaklah aneh jika Indonesia masih ditengarai hanya akan menjadi pangsa pasar dalam era Pasar Bebas ASEAN nanti.

Adang Bachtiar, Ketua Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia di Jakarta, Sabtu (5/7/2008) di website www.klikdokter.com mengatakan, ”Diberlakukannya AFTA 2010 bisa jadi ancaman sekaligus peluang bagi rumah sakit di Indonesia. Dengan 10-15 persen rumah sakit mampu bersaing dengan layanan kesehatan di Singapura dan Malaysia, kita tampaknya lebih siap sebagai pangsa pasar.”

Bertanding Kualitas

Mari kita menengok ke negara tetangga untuk bertanding kualitas. Tidak perlu terlalu banyak. Cukup ke negeri jiran yang telah berkompeten dalam pelayanan kesehatan internasional, Singapura dan Malaysia. Yang pertama kita akan ke negara jiran yang kecil, Singapura. Singapura memiliki sistem kesehatan kelas dunia yang telah menjadi teladan model administrasi tim kesehatan presiden Obama, yang kemungkinan akan mereformasi sistem kesehatan di Amerika Serikat. Sistem kesehatan Singapura juga diakui oleh WHO sebagai yang terbaik di Asia, yang kemudian diikuti oleh Hong Kong dan Jepang. Pada tahun 2003, the Political and Economic Risk Consultancy (PERC) memberikan Singapura ranking ketiga sebagai sistem kesehatan terbaik sedunia. Padahal Singapura hanya memiliki 12 rumah sakit dan fasilitas medis lain. Tetapi semuanya telah terakreditasi oleh the Joint Commission International (JCI), suatu badan yang telah mengakreditasi administrasi akuntansi sepertiga institusi medis di seluruh Asia. Singkatnya, segala jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan dapat diperoleh di Singapura dengan biaya yang rasional dan pelayanan yang baik.

Berikutnya negara persemakmuran Malaysia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Malaysia telah menjadi tujuan utama penduduk internasional untuk pelayanan kesehatan. Dengan standar kualitas yang tinggi, peralatan yang canggih, harga yang kompetitif dan keahlian yang mumpuni, Malaysia telah mencatatkan diri sebagai negara yang berkembang pesat dan menjadi tujuan dalam turisme kesehatan. Ditambah lagi dengan bahasa Inggris yang telah menjadi bahasa sehari-hari, sehingga orang asing yang berobat ke sana relatif tidak mendapatkan masalah komunikasi, meski dengan level pelayanan yang terkecil.

Insan perwakilan dari kaum akademis Malaysia, Prof. Dr. Syed Mohamed Aljunid dari Universitas Kebangsaan Malaysia mengatakan, ”Masyarakat itu mencari layanan kesehatan berkualitas dan efisien dalam biaya. Layanan kesehatan di Indonesia sering dikeluhkan mahal dan hasilnya tidak memuaskan. Lebih dari 50 persen habis untuk obat-obatan. …”

Medical Tourism, Bentuk Globalisasi Pelayanan Medis

Selain tantangan AFTA yang akan dihadapi oleh tenaga medis Indonesia, ada pula wacana baru dalam bidang kesehatan global yang harus diwaspadai potensinya. Belakangan ini telah berkembang Medical Tourism, atau Turisme Kesehatan di kalangan penyedia layanan kesehatan di seluruh dunia. Wacana apa ini? Medical Tourism (disebut juga Medical Travel, Health Tourism atau Global Healthcare) adalah suatu definisi yang digunakan oleh agen travel dan media massa untuk mendeskripsikan pesatnya perkembangan travelling melewati batas antar negara dengan tujuan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Faktor yang mendorong terjadinya peningkatan angka Turisme Medis adalah disebabkan tingginya angka pelayanan kesehatan, panjangnya waktu yang dibutuhkan untuk menunggu prosedur tertentu, kemudahan kunjungan internasional, dan peningkatan teknologi dan standar pelayanan kesehatan di banyak negara. Para turis ini biasanya datang dari Dunia Pertama, seperti Eropa, Timur Tengah, Jepang, Amerika Serikat dan Kanada. Hal ini disebabkan besarnya populasi di negara asal, tingkat kesejahteraan yang secara umum relatif baik, besarnya biaya kesehatan yang ditawarkan di negaranya, dan meningkatnya ekspektasi terhadap pelayanan kesehatan.

Mari kembali menengok ke negeri jiran yang menjadi referensi para wisatawan mancanegara untuk tujuan Turisme Medis, yaitu Malaysia. Menteri Pariwisata Malaysia, Dato’ Sri Azalina Othman Said, menyatakan dalam wawancaranya dengan The Jakarta Post pada 20 Januari 2009, bahwa pelayanan kesehatan yang sering dipesan para wisatawan antara lain penggantian sendi, operasi pintas jantung, bedah kosmetik dan perawatan gigi.

Ada banyak faktor yang membuat Malaysia menjadi laris dikunjungi para pasien wisatawan itu. Antara lain karena Malaysia memiliki dokter-dokter dan tenaga medis dengan kualifikasi tinggi, terlatih dan berpengalaman. Pasien-pasien asing itupun merasa nyaman dengan beragamnya kultur Malaysia dan staf medis yang multilingual. Bahasa Inggris yang dipakai secara luas dan sudah menjadi bahasa keseharian mempermudah komunikasi antara pasien asing dengan staf medis. Selain itu, situasi politik yang relatif tenang dan stabil membuat wisatawan tidak khawatir dengan stabilitas keamanan di sana.

Kreatifitas Untuk Peningkatan Pelayanan

Setelah berjalan-jalan ke negara tetangga, mari kita kembali ke negara kita. Untuk mengantisipasi perdagangan bebas ASEAN atau ASEAN Free Trade Area 2010 di bidang layanan kesehatan, mutu rumah sakit di Indonesia perlu ditingkatkan agar pasien tidak mencari layanan kesehatan ke negara-negara tetangga, yang disertai dengan pengembangan pariwisata medis. Harus diakui, dari segi kualitas, kondisi sebagian rumah sakit di Indonesia memprihatinkan. ”Menghadapi AFTA 2010, kini akselerasi akreditasi nasional bagi semua rumah sakit sedang dilakukan,” kata Ketua Persi (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) Adib Yahya, Senin (7/7/2008) di Jakarta. Saat ini baru 40-50 persen dari total jumlah rumah sakit di Indonesia terakreditasi nasional. Unsur manajemen RS yang terkait akreditasi nasional, di antaranya, sistem administrasi RS, fasilitas pelayanan medis, keperawatan, dan manajemen keselamatan pasien.

”Kami targetkan, tahun 2009 mendatang, sekitar 75-80 persen seluruh rumah sakit di Indonesia telah memenuhi standar nasional,” ujarnya. Untuk standardisasi, pemerintah sebatas memberi panduan dan mengakreditasi. Sementara itu, RS yang telah terakreditasi nasional diharapkan dapat meningkatkan mutunya agar mencapai standar internasional (joint commission international-JCI). ”Agar minat pasien luar negeri berobat ke Indonesia meningkat, kami akan mencanangkan pariwisata medis November nanti, seperti negara-negara tetangga,” ujarnya.

Kedepannya, insan medis Indonesia haruslah mengejar kemajuan teknologi bidang medis yang dimiliki negara tetangga. Untuk itu, tidaklah melulu dengan diperlukan biaya yang tinggi, dengan sedikit kreatifitas layanan kesehatan niscaya akan dapat meningkatkan kualitas layanan kesehatan, minimal masyarakat mendapatkan nilai efisiensi dalam usahanya mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas ditengah krisis yang makin menjerat.

Upaya perlindungan Tenaga Kerja Dalam Negeri

Selain berdampak makin maraknya pasien berobat ke luar negeri, AFTA 2010 juga bisa memicu meningkatnya migrasi petugas kesehatan, seperti para perawat ke negara-negara tetangga terutama Singapura dan Brunei Darussalam. ”Setiap petugas kesehatan berhak bermigrasi,” kata Mukti Reksoprojo, pengurus Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi). Termasuk juga tenaga medis asing yang berimigrasi ke Indonesia. Nantinya, dibutuhkan suatu mekanisme perlindungan tenaga medis dalam negeri untuk dapat bersaing secara sehat dengan banjirnya tenaga medis dari luar negeri.

Hal ini sepertinya telah disadari oleh Dinas Kesehatan di Surabaya. Dinas Kesehatan Kota Surabaya menghimbau agar tenaga medis di Kota tersebut berupaya untuk meningkatkan kualitas dan kompetensinya di bidang kesehatan. Sebab menjelang pemberlakuan pasar bebas tahun depan, tenaga asing dapat dengan bebas masuk dan praktek di kota pahlawan ini.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya, dr. Esty Martiana Rachmie mengatakan saat ini setidaknya ada tiga investor asing yang berminat masuk ke Kota Surabaya. Mereka berniat mendirikan Rumah Sakit serta pelayanan kesehatan di kota metropolis ini. Menurut dr. Esty, selama ini belum ada peraturan khusus yang mengatur keberadaan tenaga medis asing di Indonesia. Saringan atau screening awal tenaga asing yang bekerja di Indonesia hanya diatur di Departemen Kesehatan. “Seharusnya kalau masuk ke suatu daerah harus mengikuti Peraturan Daerah tersebut. Misalnya kepengurusan Surat Ijin Praktek, cakupan wilayah kerja dan lain-lain,” jelasnya.

Karena itu, untuk mengantisipasi membludaknya tenaga kesehatan asing yang masuk ke kota metropolis, Dinkes Kota Surabaya menyiapkan Perda, yaitu Perda Sistem Kesehatan Kota. dr. Esty berharap akhir tahun ini, Perda tersebut dapat digulirkan. Sehingga saat pasar bebas diberlakukan, Dinkes sudah siap menghadapinya.

Kota Surabaya telah memberikan pelajaran pada kita. Indonesia sebagai negara yang tidak menutup dirinya terhadap pergaulan dengan negara lain tetap harus mengantisipasi efek derasnya arus globalisasi terhadap rakyatnya sendiri. Karenanya, diperlukan suatu mekanisme yang mempu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam bidang pelayanan kesehatan. Sehingga SDM yankes Indonesia mampu bersaing baik dengan tenaga asing yang masuk ke dalam negeri, maupun ketika mencoba peruntungan berpraktik di luar negeri. Karena saat ini bukan hanya AFTA yang di depan mata saja yang mampu menjadi tantangan (atau kalau mau dibilang, potensi) kita semua, tetapi juga tren Medical Tourism yang menuntut peningkatan kualitas yang signifikan dan komprehensif bagi tenaga kesehatan Indonesia. Masih belum terlambat bagi kita untuk memulai…

Resep untuk Menjadi Kelas Dunia (World Class) dalam Bidang Apapun

(Translated from : How to Succeed at Anything, 10 Maret 2009, Aran at Grad School)

Ada sebuah kabar baik untuk anda :

Bakat ternyata tidak berharga. Dan anda bisa menjadi kelas dunia dalam bidang apapun yang anda mau.

Tetapi ada kabar buruknya :

Resepnya membutuhkan suatu komitmen absolut : 3-4 jam sehari membuang kesenangan untuk berlatih intensif, dan 15-18 jam seminggu untuk berkutat di bidang yang bersangkutan… selama sepuluh tahun. Anda harus selalu mendapat tidur malam yang cukup. Dan anda tidak dapat mengejar seseorang yang telah memulai terlebih dulu dari anda.

Simak beberapa kutipan penelitian di bawah ini.

Memori para ahli untuk stimulus yangmewakili bidang mereka jauh lebih baik dibandingkan dengan orang yang kurang ahli.

Teknik interview yang dipergunakan untuk menyaring programer baru : Tunjukkan sebuah program. Beri mereka waktu untuk mempelajarinya. Tutup kembali. Beri mereka waktu istirahat sebentar. Minta mereka untuk membuatnya kembali.

Orang dewasa menunjukkan tingkatan yang lebih jauh dari tingkat maksimal mereka meskipun untuk tugas yang sering mereka lakukan… “Itulah sebabnya kami memiliki terlalu banyak hal untuk diperbaiki, atau tidak tahu bagaimana seharusnya kami berlatih, atau tidak cukup peduli untuk perbaikan, atau malah gabungan dari ketiga kondisi ini.”

Pepatah “Lakukan yang Terbaik (Do Your Best)” adalah nasihat yang sangat sulit untuk diikuti.

Ketika Tchaikovsky meminta dua orang violis terbaiknya untuk memainkan konserto biolanya, mereka menolak, menganggap bahwa tugas itu terlalu sulit. Hari ini, violis elit menganggap konserto ini adalah bagian dari repertori standar.

“Kelas Dunia” adalah target yang bergerak. Rekor dunia selalu dipecahkan oleh orang lain yang memiliki sumberdaya lebih dan berlatih lebih keras.

Untuk membuat pencapaian yang menonjol, pertama seseorang harus mencapai tingkat ahli dan kemudian ia harus melewati pencapaian orang-orang menonjol di sekitarnya dan membuat kontribusi inovatif untuk bidangnya.

Aturan “10 Tahun”

Adalah normal bahwa seorang dewasa membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk mendapatkan kosa kata dewasa mereka.

Waktu yang dibutuhkan seorang pemain catur sejak pertama ia mengenal aturan main catur hingga mendapatkan status master catur internasional adalah sekitar 11,7 tahun bagi yang belajar catur setelah usia 11 tahun.

J.R Hayes menyatakan bahwa pengalaman 10 tahun juga sangat berguna dalam bidang lain, yaitu komposisi musik. “Aturan 10 Tahun” temuan Simon dan Chase didukung oleh data dari berbagai bidang : musik, matematika, tenis, renang, dan lari jarak jauh. Periode persiapan yang panjang dapat juga dihubungkan dengan bidang kepenulisan dan penelitian. Dalam bidang lain, keahlian tingkat tertinggi dapat ditunjukkan seseorang setelah berlatih lebih dari 10 tahun : eveluasi ternak, diagnosa Roentgen, dan diagnosa medis. Motivasi Motivasi dan ketekunan sangan penting untuk mencapai hasil yang menonjol. “On Practice” Telah ditemukan baru-baru ini bahwa hanya ada hubungan lemah sampai sedang antara penampilan yang didapatkan dengan jumlah latihan dan pengalaman. Kami mengajukan alasan dari hal tersebut adalah adanya definisi yang samar terhadap makna latihan. Haruslah dianalisa kembali jenis aktivitas seperti apa yang dapat disebut sebagai latihan itu. Kami mencari perbedaan antara aktivitas yang tujuan utamanya adalah mendapatkan dan meningkatkan keahlian dengan aktivitas sehari-hari dimana pembelajaran juga masih bisa didapatkan tanpa sengaja. Berdasarkan pengalaman pendidikan beribu tahun lamanya, dan sejalan dengan penelitian laboratorium terhadap pembelajaran dan kemahiran, sejumlah kondisi untuk yang dapat mengoptimalkan pembelajaran dan peningkatan kemampuan telah ditemukan. Kondisi yang paling mempengaruhi adalah motivasi subyek untuk menyelesaikan tugas dan menggunakan segenap upaya untuk untuk meningkatkan penampilan mereka. Ditambah lagi, desain tugas haruslah mempertimbangkan pengetahuan yang telah ada sebelumnya, sehingga mereka dapat mengerti dengan baik setelah suatu periode instruksi diberikan. Subyek harus segera menerima informasi feedback dan pengetahuan dari hasil yang akan mereka dapatkan. Subyek harus mengulangi tugas yang sama atau serupa. Tidak adanya feedback yang adekuat, menyebabkan pembelajaran yang efisien tidak mungkin tercapai dan subyek yang termotivasi hanya mendapatkan perbaikan yang sedikit dibandingkan dengan semangatnya. Oleh sebab itu, pengulangan tidak secara otomatis membawa pada peningkatan kemampuan, terutama akurasi dari penampilan. Penelitian menunjukkan bahwa subyek termotivasi yang diberi eksposur tugas berulang tidak menjamin akan tercapainya penampilan terbaik dari level tertinggi. Analisa metode subyek menunjukkan bahwa seringkali strategi yang tidak adekuat dapat mengurangi peningkatan kemampuan.

MENGUNTAI ASA, MEMINANG CITA

(Memoar tentang Muhammadiyah 08 Batu, SMP-ku)

Jika aku ditanya, sejak kapankah aku menyadari sejauh mana berharganya diriku, sejak kapan talenta-talentaku terbuka, sejak kapan aku mengalami pengalaman-pengalaman seru dan tak terlupakan, itu sejak aku menjadi bagian darimu.

SMP Muhammadiyah 08 Batu… Sejak aku bersamamu, aku mengenal puisi yang nanti akan mengantarkanku kepada dunia teater di SMA. Aku mengenal public speaking yang nanti akan sangat membantuku dalam tugas presentasi dan argumentasi. Aku merasakan menjadi sosok popular yang mengajariku mengembangkan bagaimana sikap low profile. Menjadi mayoret, danton, juara paralel, juara lomba puisi, dll. Menjadi warga eksklusif tanpa kehilangan moment pergaulan grass root. Nge-gank dengan bermacam petualangannya. Menikmati rona-rona remaja,dan… merasakan cinta pertama.

Kelas 1…
Aku masuk SMP dengan prestasi akademis SD yang ‘memukau’. Otomatis, aku masuk kelas C yang telah sejak awal dipersiapkan untuk siswa-siswa pilihan yang masuk SMP ini. Di kelas ‘istimewa’ ini, aku bertemu dengan 14 orang siswa berdanem paling tinggi yang lain. Ulul, Yuni, Rafida, Piping, Iwan, Udin, Dwi, Toni, Zakiya (hanya sempat bersekolah sebentar, lalu wafat karena penyakit jantung yang dideritanya), Rangga, Yeni, Fandi, Dian, … (satu orang lagi aku lupa), dan aku sendiri .

Fasilitasnya, kami gratis gak usah mbayar untuk SPP perbulannya. Hehe… lumayan. Perjanjiannya, yang menjadi warga kelas ini adalah siswa yang dapat mempertahankan prestasinya dalam kancah 15 besar parallel angkatan. Barangsiapa yang lalai dan mengalami kemerosotan prestasi, maka takkan segan-segan untuk dipindahkan, seperti yang dialami Toni, yang terlempar ke kelas A. Berikut diganti-gantikan oleh Ratna, Khafi, Lilis, Yayan, dan mungkin ada yang lain, meski aku lupa. Anggota yang relatif tetap dalam kelas ini antara lain aku (ciee, gak narsis ni..), Ulul, Yeni, Piping, Iwan, Udin, Rangga, Fandi. Sedangkan Yuni, Dian, Rafida, seingatku mereka sempat terlempar ke kelas lain.

Aku juga ikut drum band. Dan nggak tau gimana ceritanya, aku diamanahi untuk menjadi mayoret bendera. Hehe… padahal nggak tau apa-apa. Jadilah aku pakai baju seperti Cleopatra, mimpin muter-muter bendera warna-warni gitu. Kami diundang main di mana-mana. Kadang di tempat yang jauuuuhh, atau sangat keriiing, atau sangat berangiin, atau sangat basah. Hehe… lebay ya? Tetapi, drum band ini memperindah kenangan masa mudaku. Dari sinilah aku mengenal teman-teman dari luar kelasku.

Kemudian aku bertemu dengan sahabatku Septita. Gimana awal ceritanya, ya? Lupa. Yang jelas,setelah aku bersahabat dengan Tita, akupun masuk ke gank-nya, Nurdin cs, yang dipimpin oleh Nurdin yang pintar dan populer. Bersama gank ini aku mengalami banyak kejadian yang seru, menyenangkan sekaligus memalukan. Salah satunya adalah pas mau ke rumah Nurdin di hari raya, aku malah kecebur selokan, dan terpaksa pinjem baju punya Nurdin. Hiks, muaaalu…

Di SMP Muhammadiyah ini, alam adalah sahabat utama. Mungkin karena sekolahnya yang ‘mewah’ alias mepet sawah kali ya? Hijaunya belakang sekolah selalu menyejukkan mataku, dan memberi kontribusi memori indah yang cukup banyak juga. Belajar di alam menjadi saat favoritku, dan metode favorit pak Choliq. Ekstra KIR (Karya Ilmiah Remaja) yang dibina beliau sering membawaku ke hijaunya rumput Torong, atau hijaunya lumut yang nempel di candi Jago (eh, bener tah namanya? Yang letaknya di Malang?).

Guru yang satu ini memang paling suka OUT OF BOUNDARIES kalo ngajar. Adaa, aja idenya. Tapi itu yang membuat aku selalu merasa semangat belajar dengan metode beliau. Kadang nonton VCD, naik gunung, jalan ke mana, atau mungkin di kelas saja tetapi dengan metodologi dan pendekatan yang berbeda. Seru lah pokoknya… Beliau juga yang mengenalkanku dengan Harun Yahya, peneliti muslim yang sangat padat karya. Beliau mengajarkan, kita harus menjadi seorang muslim yang kontributif. Mampu memberikan sumbangsih atau perubahan. Dan sampai sekarang, aku sungguh meyakini ini.

Pada tingkat ini, pergaulanku masih sebatas teman-teman kelas C dan Septita-Nurdin cs. Masih belum expand ke grass root, lah. Tetapi meskipun begitu, di level inipun aku sudah mendapat banyak pelajaran. Tentang asertivitas, yakni berani mempertahankan diri dari penindasan (thaks to Yuni Erdiati, my friend). Tentang ketegaran mempertahankan prinsip, meskipun harus sendirian (thanks to all my classmate who taught me this). Tentang kecintaan pada ilmu pengetahuan (thanks to Pak Zulkifli Hasan ^_^) yang mengizinkanku mengeksplorasi bengkel ilmiah beliau, dan ternyata secara tidak langsung telah mengantarkanku sampai seperti sekarang. Tentang mengembangkan potensi dan membangun cita-cita (thanks to pak Samsudi). Tentang belajar untuk berbesar hati dan bersikap ulet (thanks to pak Teguh Wijayanto). Tentang menjadi sosok muslim yang mampu menciptakan perubahan (thanks to pak Choliq). Semua ini ternyata sangat berguna nantinya, di tingkat usiaku selanjutnya.

Oh iya, hampir lupa. Special thanks pada seorang ‘nenek’, yang awalnya kami kira judes (kesan pertama : galak buanget! Aku pernah dibuat nangis di pertemuan pertama pelajaran beliau, dan gara-gara itu untuk 1 semester aku kapokk dah dengan Bahasa Inggris), tetapi ternyata ia adalah nenek baik hati yang selama 3 tahun selalu melimpahi kami dengan kasih sayang. Beliaulah yeng membuatku merasa akrab dengan bahasa Inggris, serasa seperti kawan lama. Mrs. Soeniati, saya kenang anda dengan cinta…

Kelas 2…
Atas kebaikan sekolah ini, aku dan Ulul diberi kesempatan untuk studi banding ke Jogja, tepatnya di SMP Muhammadiyah 3 Jogjakarta. Wah, banyak sekali yang bisa dikenang dari negeri Gudeg ini. Mungkin ia akan memakan halaman tersendiri.

Aku berangkat bersama Ulul, dang tinggal sekost dengan dia selama 2 bulan. Kami mengalami banyak hal. Mulai dari berbagi bersama, belajar bersama, kerja bersama, sampai bertengkar satu sama lain, lalu menemukan penyelesaiannya. Dari sana, kami belajar tentang kedewasaan dan lobbying dalam menyelesaikan konflik. Meskipun hubungan kami saat itu berasa Nano-nano, nantinya ketika kami bertemu kembali segala kenangan itu terasa sangat indah. Aku belajar banyak tentang kedewasaan dan kemandirian darinya. Thanks a lot, my friend.

Di tingkat ini pula, aku menambah orang di ruang hatiku dengan kehadiran Lilis. Ia sahabatku yang berasal dari kelas yang berbeda. Kelas A. Awal pertemuan kami masih kuingat. Kami saling mengenal karena kami sama-sama mayoret bendera. Tapi ya nggak akrab gitu, biasa aja. Sampai suatu hari, Lilis ke rumahku dan kami mengobrol sedikit. Tapi entah mengapa, ada suatu ‘chemistry’ yang membuat aku menjadi merasa dengat dengannya. Jadilah kami sahabat yang runcang-runcung bersama. Kami berangkat latihan drum band bersama, jagongan bersama, berbagi cerita, banyaklah.

Kemudian, karena prestasinya yang meningkat, di kelas 2 ini Lilis dimutasi ke kelas C. maka makin akrablah kami. Aku sangat menyayangi dia. Di kelas, kami memiliiki perjanjian. Aku tidak akan pernah menconteki dia dalam keadaan apapun, karena bagiku hal itu hanyalah menjerumuskan dia saja. Aku ingin dia bertahan di kelas C dengan usahanya, dan ia mengerti itu. Ini membuatku semakin sayang padanya.

Persahabatanku dengan Lilis membuatku mengembangkan pergaulan ke kelas lain. Aku jadi punya banyak teman dari kelas A dan B, serta ikut seru-seruan dengan mereka. Margiana, Fauziah, Betty, Hawa (Salwa), si kembar Riska-Riski, Ayu, Erryx, Ferrial, Arip, Agus, Aris, Heri, …, wah siapa lagi ya? Banyak banget… Aku belajar untuk menghargai perbedaan dan menghargai orang lain bersama mereka. Mereka sering bilang minder jika di dekatku, dan karena itulah aku belajar untuk mengecilkan kesenjangan.

Entah mengapa, aku terpilih lagi menjadi satu di antara tiga mayoret depan di kelas 2 ini. Konsekuensinya, aku harus menyamakan langkah dengan mbak Amalia dan mbak Prasasti yang 1 tahun lebih tua dariku. Ini menjadi masalah tersendiri. Kebanyakan anggotaku adalah anak kelas 3. Padahal di usia SMP, selisih 1 tahun saja sudah terasa sangat jauuuhh…jaraknya. Tetapi, great thanks to Allah yang memberikan aku kesempatan seperti ini. Meskipun tadinya kujalani dengan agak minder, aku harus segera belajar menjadi seorang pemimpin untuk kalangan di atasku.

Kadangkala, aku mengalami kendala. Ada beberapa anak yang kurang suka dengan pengangkatanku yang masih ingusan ini. Dan dalam mengekspresikannya, mereka melakukan ‘pembangkangan’ terhadapku. Contohnya, ada yang dengan sengaja tidak mau menghadapku ketika musik dimainkan. Padahal, aku saat itu berdiri tepat di depannya. Saat itu, rasanya terhina banget. Tetapi aku tahu, inilah saatnya menunjukkan bagaimana seharusnya mereka bersikap.
“Mbak X, tolong hadap ke saya!” kukatakan itu dengan tegas tetapi lembut, dan kuulangi 2 kali dengan sabar tanpa emosi. Pendekatan ketegasan yang diikuti dengan kelembutan ternyata efektif! Aku mampu menyampaikan aspirasiku, tetapi tidak menyakiti dan menciptakan dendam. Dan Mbak X yang tadinya sadis dan intimidatif padaku, berangsur berubah lebih lunak serta ia harus pikir-pikir panjang dulu kalau mau menjegalku.

Kelas 3…
Di tingkat ini, aku mulai belajar dengan serius untuk menyambut ujian. Rasanya saat itu beban akademisku terasa lebih berat karena aku harus bersaing untuk sederajat dengan siswa-siswa SMP negeri. Kadangkala, aku merasa minder jika aku pulang semikrolet dengan mereka. Tetapi selalu kuhibur diriku sendiri, jika aku sekolah di tempat lain aku tidak akan mendapat kenangan seindah ini. Dan ternyata hal itu memang benar adanya.

Hobiku pada waktu itu adalah nongkrongin ruang tamu kepala sekolah yang saat itu masih dijabat oleh pak Teguh Wijayanto. Aku bisa pulang jam 5 sore kalau sudah terlanjur terbuai di sana. Kenapa? Karena di sana ada rak yang berisi begitu banyak buku-buku terjemahan luar negeri yang membahas berbagai bidang ilmu. Mulai dari sains, teknologi, geografi, sejarah dunia, kedokteran, psikologi-psikososial, kebudayaan, sosial, politik, kriminologi, dan bidang-bidang lain yang bagiku sangat menarik, meski kadang bahasanya membuat aku bingung.

Sungguh, momen di tempat ini sangat membangun diriku. Dari sinilah aku tertarik untuk mengembangkan pengetahuan seluas mungkin, dan tertarik dengan berbagai bidang ilmu. Aku jadi semakin suka membaca, apapun itu.

Dan di tempat ini pula aku sering mengobrol dengan para guru. Pak Teguh, pak Sam, pak Choliq, pak Zul,pak Ajis,pak Edy, pak Amin. Mendiskusikan tidak hanya tentang pelajaran sekolah, tetapi juga pelajaran hidup. Aku belajar berbagai wisdom (kebijaksanaan/pelajaran) yang telah mereka uji dalam hidup mereka. Banyak diantaranya yang sudah aku lupa, tetapi mungkin tanpa sadar telah aku jalankan. Dan di sini pulalah momen itu terjadi dengan guruku, Pak Sam,
“Nanti setelah lulus SMP, kamu mau ke mana Mer?”
“InsyaAllah kalo lolos, ke SMA negeri 1 Pak”
“Ooo…”
“Pak, kalo saya punya kesempatan, saya ingin kuliah di FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA, Pak. Saya ingin menjadi dokter”
Aku lupa pak Sam kemudian menjawab apa.

Saat itu, aku tidak benar-benar serius mengatakan kalimat itu. Karena situasi akademis dan ekonomi yang tidak menonjol membuatku menganggap, hal itu akan lumayan lucu jika dijadikan banyolan. Tetapi malamnya, aku menimbang kalimatku dan akhirnya aku bertekad bahwa itu bukanlah sekedar kata belaka. Jika memang Allah memberikan kesempatan, aku akan memperjuangkannya. Ia telah menjadi targetku. Dan dihadapan pak Sam, aku mengazzamkan cita ini. Azzam yang ternyata, membawaku semakin dekat dan dekat dengan cita-citaku.

Aku lolos masuk SMA Negeri 1 Batu. Lalu di sana aku berkesempatan menjajal medan Olimpiade biologi, yang meskipun tidak lolos di tingkat provinsi, tetapi membantu memantapkanku dalam wawasan hayati. Kemudian aku mendapatkan nilai UAN yang cukup menyenangkan. Dan ketika SPMB, aku tidak ragu lagi akan memilih apa. Hingga sampailah aku di sini sekarang. Ruang kuliah Prodi Pendidikan Dokter Fak. Kedokteran Univ. Brawijaya. Hal yang saat SMP dulu nyaris mustahil dicapai seorang anak sekolah pinggir sawah, tetapi sejatinya bukan musykil. Inilah yang membuatku meyakini akan pentingnya membuat dan mendeklarasikan cita-cita, menatanya menjadi target, bersabar menyelesaikannya satu persatu lalu akhirnya menggapai sang impian.

Ternyata lagi-lagi di ruang ini, aku dipinjami oleh pak Amin sebuah buku bersampul unik (gambarnya seperti kain celana jeans), The Seven Habits of Highly Effective Teens, ditulis oleh Sean Covey. Beliau memang meminjamiku beberapa buku lain, tetapi buku inilah yang paling berkesan. Tentang bagaimana seharusnya seorang remaja lakukan untuk menjadi efektif dan sukses, buku ini ditulis dengan apik dan luwes bahasanya. Sungguh, The Seven Habits telah merevolusi diriku. Buku inilah awal dari buku-buku pengembangan kepribadian lain, yang nantinya mewarnai karakterku. Terima kasih pak Amin. Meski aku tidak pernah menjadi muridnya (karena beliau mengajar di SD Muh), apa yang beliau perbuat terhadap hidupku sudah cukup untuk menempatkan beliau sejajar dengan para guru. Dan di ruang tamu kepala sekolah tersebut, aku membuktikan sendiri pernyataan ini :

You are the same today that you are going to be five years from now except for two things :
The people with whom you associate and the books you read.
Anda akan tetap sama seperti pada hari ini pada kelima tahun ke depan, kecuali untuk dua hal :
Dengan siapa anda bergaul dan buku-buku yang anda baca.

(Charles Jones)

Special Thanks for all of contribution :
Pak Teguh Wijayanto, Pak Al Ajis Arifin, Pak Abdul Choliq, Pak Samsudi, Pak Edi Susanto, Pak Teguh Riyanto, Bu Soeniati, Bu Sri Retnoningtyas, Bu Latifah, Bu Ida Misaroh, Bu Eka, Bu Jamilah, Pak Nanang Komar, Bu Titik, Pak Prayit, Mas Budi, Mba Icha, Mas Basroni, para pelatih Drum Band, Tapak Suci, Karya Ilmiah Remaja, Training Outbond, dan masih banyak lagi orang yang tak mampu aku sebut dan kontribusi yang tak dapat aku tuturkan. Kalaupun mampu, jangan-jangan memoar ini akan menyamai tebal Tetralogi Laskar Pelangi(^_^). Sekali lagi, terima kasih, jazakumuLlahi khair…

Tatsqif Ust. Unggul Wibawa, Kepala DORA PKS Pusat

Masih seputar pertemuan kader DORA Se-Jawa Timur yang dilaksanakan di kantor DPW PKS Jatim pada tanggal 22 Februari lalu. Kali ini akan kami laporkan hasil tatsqif yang disampaikan oleh Ustadz Unggul Wibawa, pimpinan Deputy Olahraga (DORA) DPP PKS yang datang dari Jakarta sono. Ustadz yang katanya juga seorang pengusaha ini menyatakan kecintaannya yang amat mendalam pada olah raga. Saking cintanya, beliau bercerita bahwa beliau menyempatkan membawa sepatu olahraga untuk lari, sambil menunggu anaknya sekolah. Ketika ditanya, beliau mengatakan bahwa dalam rentang waktu menanti itu beliau berhasil lari 30 menit dan jalan 40 menit. Subhanallah…! Sempet aja nih Bapaknya.

Dalam tatsqif itu Pak Unggul menyatakan bahwa visi DORA adalah menyebarkan ide hidup sehat di kalangan kader dan konstituen. Kenapa sih kita musti hidup sehat? Bukankah bagi seorang da’i, yang terpenting adalah tsaqafah Islamiyah yang mendalam dan komprehensif? Apa pentingnya, lha wong lagunya WR Supratman aja :”Bangunlah jiwanya, (baru) bangunlah raganya…” Berarti raga mah entar-entar dulu dongs?

Weittt… tunggu dulu Ikhwatifillah rahimakumuLlah. Mari kita berkelana sebentar dalam dunia sibuk para eksekutif/pebisnis kelas kakap. Dalam jadwal harian mereka yang berangkat kerja jam 6 pulang jam 5 itu, mereka sempatkan untuk nge-gym/fitness dulu sejak jam 5. Lho, buat apa, wong capek-capek habis kerja kok malah ngongsor-ngongsor (ini bahasa kedokteran ndeso untuk terengah-engah) berolahraga?

Rupanya, para eksekutif itu sangat sadar akan peran tubuh mereka terhadap produktivitas kerja. Kebugaran badan mereka berharga, karena ini adalah investasi yang sangat mahal!! Mereka dapat menghitung berapa juta sampai milyar rupiah melayang, proyek tender yang lepas, keputusan penting yang missed jika sehari saja mereka sakit. So, daripada kehilangan sekian banyak, lebih baik sengsara dikit.

Coba pikir. Mereka saja begitu concern terhadap kesehatan tubuhnya, padahal tujuan utama mereka adalah DUNIAWI. Lalu bagaimana seharusnya yang kita lakukan, padahal yang menjadi tujuan kita adalah DUNIAWI dan UKHRAWI. Jadi, sebenarnya kita jauh lebih membutuhkan kebugaran daripada para bussinessman itu. Tanpa fisik yang tegar, panggilan jihad dan dakwah akan disambut sambil terseok-seok. Kita akan melewatkan begitu banyak peluang ridho Allah dan pahala akhirat, yang secara gitu loh jauh lebih berharga daripada sekedar uang berjuta-juta di dunia. So, pilih mana?

Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan materi ke-DORA-an, seperti visi Departemen, bagaimana mengelola Departemen agar melejit, dan pentingnya inovasi dalam mengelola Departemen.

Visi DORA tentu saja tak lain dari “Menyebarkan gagasan hidup sehat di kalangan kader dan konstituen”. Dalam hal mengelola departemennya, beliau mengibaratkan dengan mengelola bisnis. Di sana ada UNTUNG, tetapi ada juga RUGI. Ada KAWAN, namun awas ada LAWAN. Karenanya, kerapian manajemen mutlak diperlukan. Bangun etos kerja yang sekreatif dan inovatif mungkin. Beliau mengatakan, “Senam PKS Nusantara itu bukan Al-Qur’an, bukan Al-Hadits. Jadi, kreasikan sesuka hati Anda!!”

Selain materi ke-DORA-an, beliau juga menyampaikan motivasi untuk menjaga kesehatan dan kebugaran diri. Mulai dari definisi kebugaran, ‘ijtihad’ hukum berolahraga, pengaruh lingkungan terhadap kebugaran, unsur kebugaran, bagaimana life style yang OK, dan ‘manhaj’ olahraga dalam jamaah. Wah, kayaknya seru nih.

Yang pertama, definisi kebugaran menurut beliau adalah ketika seseorang memiliki kegiatan yang banyak, tetapi tidak mudah lelah. Itulah bugar. Saya sendiri pernah membaca suatu artikel majalah wanita yang mengistilahkan definisi ini dengan kata STAMINAC. Kalo kata iklan, “Stamina lagi, dan lagi”. Mencapainya? Tentu saja dengan olahraga. Meskipun bagi orang yang sibuk, ia dapat menyempatkan olahraga sederhana semisal lari di antara sela waktunya.

Kata beliau juga, ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kebugaran. Keturunan, gender, dll memberi sumbangsih masing-masing sedikit, tetapi yang terbanyak, yaitu sebanyak 57% adalah faktor Lingkungan atau orang-orang di sekitar kita. Artinya? AWAS, JANGAN DEKAT-DEKAT SAMA ORANG YANG TIDAK BUGAR. NULAR!!! Hehe, itu saya kutip bulat-bulat dari kata Ustadz Unggul, dan saat itu kamipun gerr bersama. Menurut beliau, mestinya kitalah yang menjadi sumber kekuatan orang-orang di sekitar kita. Kitalah yang energizing people. Dengan begitu, ketika kita sendiri kehabisan energi, orang-orang sekitar kita akan mengembalikannya pada kita.

Dalam taujihnya, beliau menyebutkan unsur-unsur kebugaran yang meliputi : 1. Ketahanan jantung dan pembuluh darah, 2. Kekuatan otot (Strength), 3. Ketahanan otot (endurance), 4. Kelenturan otot (flexibility). Dan untuk hidup sehat, lifestyle yang baik musti dilakukan, antara lain istirahat cukup (4-6 jam), makan yang cukup dan teratur, serta olah raga yang teratur.

Manhaj jamaah tentang olahraga dirangkum dalam akronim FIT (Frequency, Intensity, Time). Frekuensi yang ideal adalah 2 hari sekali, karena efek hormon Endorphin (hormon pemuncul kebahagiaan mirip morphin yang juga membeludak pada orang yang sedang kasmaran) yang bekerja pada tubuh yang berolahraga akan hilang setelah 2 hari. Tetapi berolahraga terlalu sering juga kurang menguntungkan bagi tubuh.

Intensitas ideal dalam berolahraga bukan ketika kita berkeringat sampai menetes-netes. Tetapi dapat dihitung dengan rumus berikut :

Denyut optimal = (220-usia)x70-85%.

Dengan rumus ini, didapatkan denyut optimal yang musti dicapai oleh sang olahragawan. Sehingga, otot-ototnya benar-benar terlatih, tidak sekedar bergerak dan berkeringat saja.

Untuk banyaknya waktu yang dibutuhkan untuk berolah raga, yaitu mempertahankan denyut optimal tersebut selama minimal 30 menit. Olahraga macam apakah yang mempu memenuhi syarat di atas? banyak kok. Seperti lari adalah salah satu contoh olahraga yang mampu menguras tenaga, murah pulak.

Yang terakhir, beliau menceritakan ‘ijtihad’ beliau terhadap hukum berolahraga. Apa ijtihad MUI sehubungan dengan merokok? Merokok adalah kegiatan yang membuang uang dan menabung penyakit. Karena alasan itulah, rokok difatwakan HARAM. Sedangkan apa yang akan terjadi jika tubuh tidak berolah raga? Tubuh akan sama sakitnya, menderita, dan produktivitas hilang. Jadi hukumnya? HUAARRAM!!! Hehe… Anda percaya?

DORA, The Explorer!!!

Pada hari Ahad, tanggal 22 Februari 2009 kami diundang untuk menghadiri rapat DORA (Deputy Olahraga) DPW Partai Keadilan Sejahtera, yang bertempat di kantor DPW PKS Jatim, Jalan Kartini nomor 50 Surabaya. Pertemuan Deputy Olahraga seluruh DPD Se-Jawa Timur ini dihadiri sekitar 100 peserta Ikhwan dan akhwat. Dari DPD Kota Batu sendiri mengirimkan 2 delegasi akhwat, tanpa ikhwan.

Perjalanan kami menuju terminal Arjosari di pagi yang sejuk sempat terganggu dengan ban yang kempes mendadak. Takut juga, lha wong kempesnya ketika motor kami melaju dengan kecepatan tinggi. Waduhh, mbawa anak orang nih! Untunglah,kendaraan dapat dikendalikan sehingga menepi dalam suasana pagi yang sepi kendaraan. Tanya sana-sini, dimana ada tambal ban yang buka jam 6 pagi, ternyata ada juga. Dan alhamdulillah perjalanan kami dapat melaju lagi dengan tenang.

Sampai di Arjosari, kami disambut calo-calo bis yang menyambut kedatangan kami dengan ‘meriah’. Kamipun naik bis menuju Bungurasih. Sesampainya di sana, kami naik bis kota Surabaya jurusan Darmo. Sempat was-was lagi, berhubung kami tidak tahu mana yang namanya jalan Kartini itu. Tapi Alhamdulillah, di bis kami berjumpa dengan seorang ikhwan yang sama-sama bilang “Jalan Kartini” pada pak kondektur. Setelah turun, kamipun mengikuti dari jauh kemana beliau pergi (tanpa sepengetahuannya), hingga sampailah kami di kantor DPW yang ternyata letaknya agak masuk gitu ke jalan Kartini.

Sesampainya di sana, kami agak terlambat mengikuti seremonial pembukaan, dan kami sudah sampai pada materi dari Pak Syaiful, Kepala DORA DPW PKS Jatim (bener ya gelarnya?). Ternyata menurut beliau, PKS provinsi Jawa Barat dan Sumatera Utara yang telah berhasil memenangkan Pilkada lalu memiliki statistik jumlah instruktur senam PKS Nusantara yang sangat fantastis (ana lupa, 1000 atau bagaimana. Pokoknya sangak buanyak!!). Dan disinyalir, banyaknya instruktur yang bergerak mengumpulkan massa untuk senam sehat sambil berkampanye itu memberi andil yang signifikan terhadap pemenangan Pilkada di daerah-daerah tersebut. Halah, how come?

Bagaimana tidak? Senam adalah kegiatan yang bisa dilakukan secara murah, mudah, meriah, mengena dan semua suka. Ibu2, bapak2, mas2, embak2, anak2, bahkan aki2 nini2 kalo mau boleh ikut. Senam is Happy. Bagi mereka, ini adalah momen rame-rame ketemu teman dan sodara dalam suasana ceria. Nggak perlu modal, cukup semangat dan enggak malu aja. Apalagi, dengan semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya kesehatan dan melawan penyakit aneh-aneh yang muncul di zaman ini, senam dapat menjadi alternatif menjaga kesehatan yang nyaman dan mudah diperoleh.

Sedangkan bagi kita para kader, senam ini sungguh membantu bendahara struktur. Hemat! Nggak usah bondo yang aneh-aneh, cukup VCD player, TV dan sound system (sama aneh-anehnya dong?). Dengan modal itu saja sudah mampu menarik massa dari berbagai kalangan. Dan pencitraan PKS yang Peduli Kesehatan itupun dapat tersampai dengan baik tanpa terlalu banyak koar-koar. Hare gene gak jaman omong doang!

Dengan kelebihan itulah, sudah selayaknya senam PKS Nusantara diperhatikan lagi perkembangannya. Mestinya, ia tidak lagi dipandang sekedar penghias mutaba’ah kader saja. Tetapi dapat dioptimalkan untuk membantu mem-futuh-kan masyarakat yang sebenarnya tengah memanggil-manggil kontribusi kita. Dengan memanfaatkan daya pikatnya, senam PKS Nusantara dapat menjadi pembuka lahan dakwah baru yang tadinya belum dapat tersentuh via pengajian atau halaqah. Sarana merangkul individu-individu yang baru denger kata “Ngaji” dan bacaan “Ya ayyuhalladziina aamanu…” aja udah ngibrit duluan, kata Ustadz Unggul Wibawa. Ia dapat membantu mengeksplor ruang jelajah medan ‘perang’ kader. Maka, pantes aja kalau kami gelari senam PKS Nusantara itu dengan :”DORA, The Eksplorer!”

Advokasi Pasien Abses Otak (Part 1)

Bapaknya ukhti Dwi masuk RSP, diduga mengalami stroke penyumbatan dan akan dirujuk ke RSSA untuk CT Scan. Antum agenda kosong? Kalau iya, dimohon menemani ukh Dwi untuk membantunya”

Begitulah kira-kira SMS temanku, yang mau tidak mau membuatku terkejut. Bapaknya Dwi? Kok kayaknya tadinya baik-baik saja? Tapi sudahlah. Segera kuselesaikan urusan presentasi Monev PKM-ku untuk untuk dapat segera menemui mereka di RSP.

Dwi adalah salah satu sahabatku. Kami dan beberapa teman lainnya menjalani peran sebagai aktivis dakwah sekolah. Karena seringnya kami bertemu, kami menjadi akrab. Kami sering bagi berbagai cerita tentang keluarga, cita-cita, kehidupan dan sampai cinta. Hehe…

Sesampainya di RSP sana, aku bertemu juga dengan Nana. Nasi kotak yang kubawa dari Monev tadi kami bancak bersama, sambil membicarakan tentang penyakit bapak Dwi. Sebenarnya ketika aku membaca SMS di atas, aku merasa ragu saja. Apa benar bapak Dwi butuh CT Scan? Apakah itu benar-benar diperlukan? Takutnya, CT Scan itu hanyalah upaya ‘bisnis’ antara dokter dengan bagian CT Scan-nya. Bukan berprasangka, tetapi dosenku dari bidang Radiologi sendiri yang bilang begitu. Kan jadi rada parno tuh…

“CT Scan? Kata dokter emangnya bapak sakit apa Ukh?”

“Denger-denger sih penyumbatan gitu katanya.”

“Emang harus disuruh CT ya?”

“Lha ya itu Ukh. Ana dan ibu kan ngga tau apa-apa to. Sedangkan antum kan jauh lebih tahu dari kami. Makanya, kami berharap agar setidaknya antum mendampingi kami, gitu lho.”
itu saja sudah cukup bagiku untuk menekadkan diri mengadvokasi keluarga sahabatku ini. Meskipun ilmuku sederhana dan pengalamanku seadanya, tetapi aku merasa harus mendampingi keluarga itu. Lagian, lumayan kan dapet ilmu gratisan. Kapan lagi bisa ikut memonitor kesehatan pasien dengan begini leluasa?

“Gejala bapak apa aja?”

“Sakit kepala berat dan tensinya 150/… (lupa).”

“Ada tanda kelemahan tubuh gitu ngga? Kayak jadi ngelimprek, gak bisa jalan, kesemutan, dll? Atau kesadaran yang menurun?”

“Nggak tuh…”

Ha? Cuman Hipertensi tanpa ada tanda defisit neurologis? Gitu doang mau di CT? Gak salah?

“Terus dikasi obat apa aja?”

“Sejenis captopril (penurun tekanan darah), ranitidin sama vitamin B complex.”

Ranitidin? Itu kan buat obat tukak lambung?

“Ukh, CT Scan tu termasuk ga murah lho. Dan setau ana, kalo cuman hipertensi gitu doang mah ga usah CT. kasi aja penurun tekanan darah. Tapi jangan berburuk sangka dulu. Gimana kalau kita tanya aja ke mereka kenapa kok harus di CT Scan. Biar lebih jelas alasannya ”

“Tapi…”

“Halah, ga papa kok, tak temenin.”

**** Prinsip Etika Kedokteran Poin Pertama (RESPECT OF THE AUTONOMY, Pasien mempunyai kebebasan untuk mengetahui serta memutuskan apa yang akan dilakukan terhadapnya, sehingga perlu di berikan informasi yang cukup) dan Poin Kedua (PRINCIPLE OF VERACITY, Dokter hendaknya mengatakan secara jujur apa yang sebenarnya terjadi, apa yang akan dilakukan serta resiko yang dapat terjadi) ****

Jadilah aku mengantar Dwi ke ruang perawat, karena sore itu sang dokter spesialis sudah tidak di tempat. Berbasa-basi sedikit dengan mas-mas perawatnya, aku mendapat kesan kalau investigasi ini tidak akan sulit.

“Mas, saya kan keluarganya pak Darmanto. Beliau katanya dirujuk ke RSSA untuk di CT Scanya mas? Sakitnya apa to kok pake gituan?”

Aku berusaha sok bodo aja. Dan mereka menyinggung adanya dugaan tumor otak. HAH?!?!? Gak salah? Gak boleh sembarangan lo bilang suspect tumor otak. Ia harus memenuhi beberapa kriteria proses desak ruang, seperti sakit kepala berat, mual-muntah proyektil, papil edema, dan defisit neurologis fokal. Tapi Dwi ngga pernah mengeluhkan itu padaku.

“Memangnya, bapak Man kenapa pak kok bisa diduga begitu? Oh iya, boleh lihat statusnya mas?” Nekat aja. Ternyata dibolehin. Dan saat itu pula aku sadar, adanya hemiparesis kaki kiri, papil edema +1, sakit kepala yang sering dikeluhkan bapak, dan setelah kembali ke kamar bapak, aku mendengar bapak muntah. Aku jadi merinding sendiri.

“Ukh, sepertinya benar deh, bapak ada gejala tumor di otaknya”

“Hah??” Ukhti Dwi pucat pasi.

BERSAMBUNG…

« Older entries